keilmuan

19.45 Arif Nurohman Madugo 0 Comments

KEILMUAN DALAM ISLAM: SEJARAH DAN MASA DEPAN
December 30, 2013
      1 Vote

(Catatan untuk Pengembangan dan Reposisi Studi Islam di UIN)
Oleh: Dr. H. Zuhri, M.Ag.
Dosen Tetap Jurusan Aqidah dan Filsafat
Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
A. Pendahuluan
Salah satu faktor munculnya krisis peradaban manusia di dunia Timur dan Barat pada
abad kelima masehi adalah mandegnya gerak dinamika dan kreatifitas pengetahuan manusia.
Kemandegan kreatifitas pengetahuan ini berimplikasi pada tataran individualitas manusia dan tataran
sosialitas manusia, tataran individualitas manusia jatuh pada ranah primitifnya sedangkan tataran
sosialitas manusia berada pada titik nadir dengan barbarianismenya.
Islam lahir di tengah krisis peradaban manusia. Islam lahir untuk mengatasi krisis
peradaban umat manusia dengan melakukan gerak cepat dan kreatifitas dalam mengembangkan
kemampunan manusia untuk dapat membaca (qira’ah), bernalar (ta’aqul), menjelaskan (al-bayan),
mempelajari (tafaqqaha). berefleksi (tafakur). Dengan pengetahuan, Islam mampu memimpin gerak
maju peradaban yang rahmatan li al-alamin. Namun demikian perlu dipahami bahwa pengetahuan
tidak serta merta menjadi agen tunggal pembentuk peradaban, pengetahuan hanya salah satu
dimensi utama penopang lahir dan berkembangnya peradaban Islam sampai di tittik puncaknya.
Upaya-upaya yang diperankan oleh ilmu pengetahuan dalam mewujudkan puncak
perdaban Islam merupakan salah satu ikhtiar umat Islam untuk membangun perdaban Islam ke
depan, karena hanya dengan mempalajari sejarahnya manusia dapat membangun masa depannya.
Oleh karena itu, peran pengetahuan dalam membangun peradaban Islam perlu ditelisik ulang guna
menghindari kesalahan-kesalahan dalam pemahaman. Karena kesalahan-kesalahan yang demikian itu
akan memunculkan persepsi tentang gagasan-gagasan pengetahuan untuk masa depan yang keliru.
Meskipun demikian perlu dipahami bahwa peran pengetahuan dalam membangun peradaban Islam
harus diposisikan secara proporsional. Artinya, makna atas peran pengetahuan dalam membangun
peradaban Islam hanya sebatas sebuah pemahaman yang terwakili di dalamnya tidak lebih. Dengan
demikian, usaha-usaha lain yang lebih komprehensif tentu tetap perlu dilakukan.
Untuk memahami peran pengetahuan dalam mewujudkan peradaban Islam, langkah awal
yang perlu dilakukan adalah membedakan antara sebaran-sebaran pengetahuan yang tumbuh
secara alami dalam proses berkembangnya peradaban Islam dan membedakan sebaran-sebaran
pemahaman tentang pengetahuan yang tumbuh dari peran dan kekuatan naql. Pengetahuan yang
berkembang secara alami di dunia Islam cenderung bersifat induktif, sementara pengetahuan yang
berkembang dari rumusan-rumusan naqliyah cenderung bersifat deduktif. Kedua pola tersebut tidak
berjalan secara estafet dan menempati ruangnya masing-masing secara dikotomis. Kedua pola
tersebut silih berganti saling mengisi dan membantuk proses dinamika pengetahuan dalam Islam di
perjalanan sejarahnya.
Dalam hal usaha-usaha rekonstruksi (pengembangan dan pembidangan) keilmuan dan
studi keislaman, sebagaimana yang telah menjadi telah keprihatinan oleh institusi PTAIN maupun UIN
selama beberapa tahun belakangan ini, pemahaman atas jejak dan sebaran dua pola keilmuan di
atas perlu diperhatikan. Tanpa pemahaman yang mendalam atas gerak sejarah dinamika keilmuan
dalam Islam, usaha-usaha rekonstruksi keilmuan yang sedang dilakukan oleh UIN hanya akan
menghasilkan rumusan konstruksi keilmuan dan studi keislaman yang rapuh karena tidak didasari
oleh kekuatan fondasi dan sejarah pemahaman atas struktur pengetahuan itu sendiri.
Usaha rekonstruksi keilmuan dengan memahami ranah sejarah keilmuan Islam merupakan
salah satu dimensi. Dimensi-dimensi lain yang menyangkut rumusan atau tepatnya paradigma,
konsep, dan refleksi-refleksi keilmuan yang diusung dalam proses rekonstruksi keilmuan di UIN perlu
ditelaah terlebih dahulu dalam perspektif kefilsafatan. Dimensi filosofis ini menjadi bagian penting
dari diskursus rekonstruksi keilmuan dan studi keislaman di UIN karena kajian tentang keilmuan
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Surakarta, 2-5 November 2009
dan studi keislaman tidak semata persoalan faktual tetapi juga menyangkut persoalan metafisika.
Hal-hal faktual secara sederhana dapat dicontohkan dari kasus pembidangan ilmu-ilmu humaniora
dan ilmu-ilmu alam berikut kecenderungan di kalangan masyarakat untuk memilih salah satu bidang
tersebut. Sementara persoalan metafisika meliputi konsep ilmu humaniora berikut batasan-batasan,
dan implikasinya bagi kemanusiaan secara umum.
Pada sisi lain peran dan posisi masyarakat juga perlu dipahami lebih serius lagi. Pola
dinamika yang begitu cair dalam menentukan pilihan-pilihan dan kriteria-kriteria tentang keilmuan
yang menurut mereka penting dan prospektif menunjukkan adanya berbagai faktor yang melatari
munculnya pola-pola pilihan dan lahirnya kriteria-kriteria tersebut. Artinya persepsi masyarakat yang
dinamis perlu dijadikan sebagai bagian dari pertimbangan bagi paradigma keilmuan yang diusung
oleh UIN. Di sisi lain, bagi UIN sendiri, faktor-faktor yang melatari pola-pola pilihan masyarakat juga
hendaknya diketahui secara lebih dini sehingga paradigama-paradigma keilmuan yang diusung oleh
UIN telah melalui pertimbangan yang matang.
Yang jelas dalam proses rekonstruksi keilmuan dan studi keislaman di UIN, dimensi
historis, dimensi filosofis, dan dimensi sosial memiliki nuansa yang sama dominannya. Untuk itu,
ketiga ranah di atas hendaknya menjadi spirit, mainstream, basis atau dasar pijak bagi proses
rekonstruksi keilmuan di UIN. Dengan demikian, gagasan tentang pembidangan keilmuan dan studi
keislaman di UIN secara real maupun yang ideal membutuhkan pemikiran matang. Kecermatan dan
kejelian semua pihak dibutuhkan untuk membaca ulang sejarah, membaca ulang pesan-pesan sosial,
merefleksikan lebih lanjut fakta-fakta ilmiah dalam khazanah keilmuan, memahami peran sentral
pendidikan dan khususnya kurikulum, dan menjunjung tinggi asas keterbukaan dan kebersamaan di
dalam institusi yang ditunjukkan dengan satu visi. Dengan kecermatan tersebut diharapkan pola
pembidangan keilmuan yang ada sekarang ini dan bidang-bidang kajian yang akan diusulkan untuk
tahun-tahun ke depan memiliki fondasi yang kuat secara historis dan filosofis, dapat dikelola secara
baik dengan suatu sistem yang memadai, serta dapat berbuah dan bermanfaat untuk kepentingan
umat manusia secara keseluruhan. Dengan itu, usaha-usaha pembidangan keilmuan betul-betul
menjadi amal jariyah bagi semua pihak yang ada di institusi.
B. Studi Islam: Mewacanakan Agama dan Mengagamakan Wacana
Tidak ada Islam tanpa ilmu pengetahuan karena Islam lahir dan dikembangkan dalam
wadah ilmu pengetahuan sebagai alat dan medianya. Oleh karena itu sejarah kelahiran dan
perkembangan ilmu pengetahuan adalah sejarah Islam itu sendiri, begitu pula sebaliknya sejarah
Islam adalah sejarah ilmu pengetahuan dalam Islam. Paralelitas makna sejarah yang demikian itu
tidak serta merta memunculkan simpulan bahwa eksistensi ilmu pengetahuan tercerap dalam Islam
ataupun sebaliknya Islam menjadi subordinasi dari ilmu pengetahuan. Paralelitas makna sejarah di
atas menunjukkan bahwa Islam tidak anti pengetahuan dan sebaliknya bahwa ilmu pengetahuan
tidak anti Islam.
Islam lahir dalam semangat keilmuan. Semangat keilmuan adalah semangat keterbukaan,
semangat kritik, dan semangat untuk selalu menuju kepada kebaikan tertinggi, dan semangat untuk
selalu dinamis. Itulah makna spirit dari suatu hadits yang menyatakan al-dīn huwa al-aql lā dīna li
man lā aqla lahū.1 Pewacanaan Islam seiring dengan semangat penggunaan aql yang selalu
berdialektik dengan naql, begitu pula sebaliknya. Sebagai contoh, secara teologis, wahyu pertama
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. adalah kata Iqra, namun secara bersamaan kata ini
juga menunjukkan peran logos-nya sebagai suatu kata-kata yang sarat dengan konsep ‘aqliyyah.
Semangat yang demikian itu-lah yang perlu terus dipahamai lebih dalam dan tentu perlu terus
dipelihara dengan suatu keyakinan bahwa Islam perlu terus diwacanakan.
Namun demikian perlu juga disadari bahwa mewacanakan agama selalu bersentuhan
dengan realitas suatu masyarakat. Kondisi demikian itu mengakibatkan lahirnya wacana-wacana
keagamaan yang tidak lepas dari sisi sosialitas manusia. Dapat dikatakan bahwa perkembangan
gagasan suatu keagamaan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan gagasan atas wacana itu
sendiri. Pada saat yang sama, wacana selalu mengakar dan berkembang dalam proses dialogis pada
1Tentang hadits itu memang lebih banyak pandangan yang menyatakan sebagai hadits daif, sebagaimana
juga dikemukakan oleh al-Nasāī, al-Albānī, Silsilah al-Ahādits al-Dha’īfah, juz I, (Bairut: Dar al-Fikr, 2003), hlm. 53.
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Surakarta, 2-5 November 2009
dan di wilayah sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, sebagaimana dikemukakan oleh Marshall
Hodgson, dalam sejarah kelahirannya Islam selalu tampil dalam format dialog-dialog agama dan
dialog-dialog peradaban.2
Dialog peradaban dalam Islam itulah yang, menurut hemat penulis, menjadi kunci
kesuksesan Islam dalam mengukir sejarah keemasannya pada era pembukuan (‘ashr al-tadwīn). Era
tersebut menjadi era diaolog peradaban oleh karena yang menjadi ruh atau spirit kemujan adalah
prinsip rasionalitas yang dikelola dalam proses dialogis baik dalam ranah internal (sesama umat
Islam), eksternal (dengan komuintas lain), maupun vertikal (kosmosentris dan teosentris). Namun
demikian sangat disayangkan bahwa kondisi Islam kekinian hanya mengambil sisi hasil semata dari
era pembukuan di atas dan meninggalkan proses dialog berikut spirit yang ada di belakangnya pada
era tersebut.
Dialog peradaban tidak berjalan satu arah tetapi berjalan dari dua arah. Proses dialog adalah
proses pewacanaan, bukan proses doktrinasi, ortodoksi atau taqdis al-nash wa al-fikr. Proses dialog
bertumpu pada ruang yang dinamis dalam berbagai sisi-sisi yang ada di dalamnya. Itulah yang
penulis pahami bahwa pewacanaan agama dalam konteks Islam dalam ranah historisnya adalah
proses dialektika antara nash-nash qauliyyah, nash-nash kauniyyah, dan nash-nash aqliyyah. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa Islam berkembang bukan dari proses doktrinasi melainkan justru
dari proses dialektika.
Proses dialektika tiga kekauatan nash di atas tidak berjalan secara seimbang, pada saat
tertentu kekuatan nash-nash qauliyyah menjadi tumpuan bagi proses pemahaman yang dibangun
oleh masyarakat, namun pada lain waktu dan kasus tertentu kekuatan nash-nash kauniyyah dan
aqliyyah kadang ditempatkan lebih dominan dibandingkan dengan nash-nash qauliyyah. Proses
tersebut berjalan berabad-abad dalam pasang surut peradaban Islam. Intinya semua itu berjalan
dalam usaha mewacanakan gagasan-gagasan tentang agama dan mengagamakan tentang wacana.
Menggagas tentang agama dan mewarnai suatu gagasan dengan suatu nilai agama menjadi
suatu prinsip atau paradigma yang menjadi spirit bagi proses studi Islam di PTAIN. Namun, tidak
semua orang atau tepatnya umat Islam menganggap hal yang demikian. Bahkan pada umumnya
yang ada di masyarakat adalah suatu pemahaman bahwa agama Islam berbeda dengan wacana,
bahkan agama tidak perlu diwacanakan. Anggapan tersebut berawal dari suatu pandangan atau
tepatnya suatu asumsi yang menyatakan bahwa agama bukan untuk diwacanakan melainkan
diamalkan. Pandangan inilah yang menjadikan Islam tidak perlu dikaji atau ditelaah tetapi cukup
diamalkan. Bahkan, Islam tidak perlu dibahas dalam PT. Islam yang lahir dari PTAIN justru
‘menyesatkan’ umat.3 Paradigma Islam amaliyah itulah yang menjadi basis dari kekhawatiran umat
atas munculya Islam wacana, sebagaimana tercermin dari proses dan dan perkembangan di dalam
dan dari PTAIN.
Munculnya pola-pola paradigma di atas berawal dari adanya dinamika sejarah bagaiaman
Islam dimakani dalam konteks kehidupan. Oleh karena itu, apapun pola paradigmatiknya, bagi
penulis, pola paradigma pemikiran keislaman di atas tetap masih dalam koridor proses pewacanaan
agama. Implikasinya, sikap optimis semestinya terus dijaga bahwa paradigma Islam sebagai suatu
basis nilai suatu wacana dan sekaligus objek pewacanaan, sebagaimana yang terjadi di PTAIN,
merupakan pilihan kepastian sejarah.
C. Studi Islam di UIN: Dari Kekeliruan Sejarah Menjadi Beban Sejarah
Dari sisi perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia, studi Islam di PTAIN memiliki akar
sejarah yang unik untuk ditelisik ulang. Sejarah PTAIN adalah gambaran lika-liku perjalanan sejarah
studi Islam (baca: pendidikan dan pengkajian tentang agama Islam) di Indonesia yang tidak lepas
dari pengaruh kekuasaan sejak era kolonialisme sampai era Orde Baru.
Pengaruh kekuasaan dalam studi Islam berawal dari adanya dualisme kepemimpinan
2Marshal Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia , pent. Mulyadhi
Kartanegara, (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 121.
3Sebut saja misalnya tulisan Hartono Ahmad Jaiz, Pemurtadan di IAIN, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005).
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Surakarta, 2-5 November 2009
agama di masyarakat; kepemimpinan formal yang biasanya disebut penghulu dan kepemimpinan non
formal yang disebut dengan kyai. Penghulu diangkat dan digaji oleh pemerintah sementara kyai
diangkat oleh masyarakat. Penghulu mungkin seorang santri atau masyarakat umum yang dianggap
bisa agama meskipun tidak dari pesantren, sementara kyai pada umumnya dari pesantren atau
bahkan memiliki pesantren, surau, atau dayah. Posisi dan peran penghulu sering kali berbenturan
dengan posisi dan peran kyai oleh karena kedua-duanya memiliki kepentingan yang berbeda.
Penghulu mewakili kepentingan kekuasaan sementara kyai mewakili kepentingan rakyat yang
dikuasai.4
Pada era kemerdekaan sampai awal-awal era Orde Baru, para penghulu dan hakim
agama dalam berbagai tingkat kemudian mengkristal pada institusi Departemen Agama.
Kecenderungan ini diperkuat oleh rezim kekuasaan yang cenderung untuk memelihara kebijakan
bahwa Departeman Agama berikut lembaga-lembaga pendidikan yang ada di DEPAG harus diisi oleh
orang-orang yang berafiliasi ke dalam kelompok modernis yang cenderung tidak berpolitik praktis
pada waktu itu dan bahkan secara kultural memang mereka lebih dekat dengan pusat-pusat
kekuasaan baik di tingkat kecamatan, kabupaten sampai di tingkat yang paling tinggi, yakni
pemerintahan pusat.
Dari konteks ini, dapat disimpulkan bahwa para pemimpin keagamaan di tingkat formal
sesungguhnya tidak memiliki akar studi Islam yang kuat dibandingkan dengan para kyai berikut
pesantrennya. Namun, entah karena apa para kyai memang tidak ditakdirkan untuk dekat-dekat
dengan kekuasaan. Oleh karena itu sangat dimaklumi jika kemudian orang sekaliber Snouck
Hurgronje membuat rekomendasi agar kualitas keagamaan para penghulu ditingkatkan karena jika
tidak akan berimplikasi pada pola relasi dan interaksi agama dengan negara.5 Pada sisi lain, sejalan
dengan spirit kultural pemimpin keagamaan di tingkat formal, kelompok modernis juga memiliki spirit
yang sama. Bahkan kelompok modernis secara cerdas mampu menangkap gagasan modernisasi
sistem pendidikan yang diadopsi dari tradisi pendidikan kolonial. Dalam konteks inilah mereka
memiliki nilai lebih dibandingkan dengan para pemimpin keagamaan yang masih menganut sistem
pendidikan tradisional.
Pada pertemuan dan bahkan pertentangan arus kuat kulturalisme dan moderisme itulah
Departemen Agama merajut dan mengembangkan eksistensinya di tengah masyarakat. Oleh karena
itu dalam sejarahnya, Departemen Agama selalu hadir dalam nuansa-nuansa persaingan dan konflik
internal umat Islam, termasuk dalam konteks pendirian pusat studi keislaman dalam suatu institusi
bernama PTAIN. Oleh karena itu, baik secara kelembagaan maupun secara keilmuan PTAIN kurang
memiliki akar genealogis yang kuat dengan tradisi studi keislaman yang berkembang di pesantren
yang merupakan representasi institusi studi Islam paling original ala masyarakat Indonesia. Padahal,
semestinya studi Islam tidak bisa lepas akar genealogi studi Islam yaitu masyarakat pesantren.
Sehingga, semestinya pula, bahwa PTAIN merupakan “ma’had ali”-nya pesantren.
PTAIN merupakan wadah pengembangan pemikiran keislaman dengan basis tidak hanya
berorientasi pada nilai-nilai ortodoksi namun juga gagasan pengembangan proses rekonsiliasi nilainilai
keislaman dengan rasionalisme Barat, misalnya, dan modernitas pada umumnya. Hal itu,
menurut Darmadi, dipengaruhi oleh gerakan pembaharuan Islam yang dibawa oleh kelompok
modernis.6 Tradisi studi Islam di PTAIN merupakan cerminan adanya pergeseran baik dalam tradisi
dan proses pengkajian, orientasi, maupun visi.
Kemudian, PTAIN memberikan jembatan pemikiran yang cukup kuat dalam upaya
menindaklanjuti pokok-pokok studi keislaman yang dikembangkan oleh pesantren. Banyak jebolan
pesantren yang kemudian melanjutkan studinya ke PTAIN. Proses pengayaan keilmuan dari
pesantren ke PTAIN merupakan jembatan pemikiran yang menelorkan banyak santri intelektual.
Artinya secara tidak disengaja, ada proses take and give dalam wacana studi keislaman di pesantren
dan PTAIN sehingga kedua institusi dan tradisi pemikiran tersebut saling mewarnai. Tetapi di sisi lain,
muncul anggapan bahwa PTAIN menyebarkan ide-ide yang justru berseberangan dengan pesantren.
PTAIN menyediakan ruang bagi lahirnya kebebasan berfikir yang dinikmati oleh para santri yang
4Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurkikulum Modern,
(Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 106-108.
5Hal itu sebagaimana diungkap oleh Karel Steenbrink dalam Pesantren, Madrasah dan Sekolah, hlm. 108.
6Dadi Darmadi, “IAIN dalam Wacana Intelektual Islam Indonesia” Artikel Pilihan Direktorat Perguruan
Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI.
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Surakarta, 2-5 November 2009
baru keluar dari pesantren.
Pada era berikutnya, PTAIN banyak mengalami perubahan internal, termasuk di antaranya
yang paling mendasar adalah perubahan IAIN menjadi UIN, perubahan dari perguruan tinggi agama
menjadi perguruan tinggi umum yang memiliki ciri khas agama. Pada lingkup IAIN, Agama (Islam)
memposisikan diri sebagai subjek dan objek kajian. Sedangkan pada UIN, agama memposisikan
dirinya sebagai nilai dan pelengkap. Kondisi demikian membuat gerah pihak-pihak yang merasa
terbabani oleh titipan nilai dan visi-visi keislaman. Pada saat yang sama, hal itu juga membuat gerah
pihak-pihak yang merasa lahan dan kajian Islam yang menjadi spesialisasinya telah menuju
kepunahannya.
Dengan demikian, studi Islam di UIN berjalan menuju ke arah sejarah perjalanannya yang
menciutkan studi-studi keislaman secara sistematis melalui pembukaan-pembukaan program studi
yang relatif lebih diminati oleh masyarakat karena isi program studi-nya yang mudah untuk dipahami
dan dirasa lebih menjanjikan masa depan mereka. Ada banyak faktor dan argumen yang dijadikan
alasan penopang bahkan mungkin pledoi bagi proses tersebut. Faktor utama dari semua itu adalah
kuatnya mainstream bahwa pendidikan tinggi selalu diposisikan sebagai batu loncatan untuk
mendapatkan pekerjaan. Padahal kenyaatannya tentu tidak demikian.
Keberadaan studi Islam dalam institusi perguruan tinggi agama merupakan cerminan
pergulatan proses konsepsi pemikiran tentang keilmuan yang berkembang dalam dunia global
sekarang ini. Proses konsepsi pemikiran tentang keilmuan berikut pengembangan institusi di
dalamya merupakan pilihan-pilihan paradigmatik di mana satu pilihan tertentu melahirkan suatu
rangkaian konsekuensi lain. Lepas dari pilihan-pilihan yang ada, satu hal yang selalu terpinggirkan
dalam proses konsepi pemikiran tentang keilmuan berikut pengembangan institusinya adalah
eksistensi UIN sebagai institusi perguruan tinggi. Itulah yang kemudian menimbulkan banyak
permasalahan yang tercecer, termasuk di dalamnya persoalan munculnya kelangkaan peminat di
jurusan-jurusan studi keislaman. Akhirnya, studi Islam di UIN justru menjadi beban sejarah. UIN juga
memikul beban sejarah, baik sejarah masa lalunya sebagai pusat studi keislaman maupun sejarah
masa depannya sebagai institusi yang rela memoles wajahnya menjadi universtas umum dan
terbuka.
D. Masa Depan Studi Islam di UIN: Tantangan Global
Institusi pendidikan apapun nama dan labelnya di tengah kungkungan modernitas
memiliki tiga keyakinan paradigmatik yaitu adanya kemajuan, rasionalitas, dan kemandirian.
Kemajuan adalah upaya sistematik dalam proses progresifitas yang didukung oleh ilmu pengetahuan
dan teknologi. Rasionalitas menjadi basis atau dasar pijak serta jejaring nalar-nalar yang menjadi
urat nadi berjalannya suatu sistem. Sementara kemandirian merupakan karakteristik hasil dari sistem
di atas. Ketiga karakteristik di atas tentu tercermin dalam proses pendirian UIN. UIN merupakan
representasi dari bentuk adanya kemajuan, rasionalitas, dan proses menuju kemandirian.
Hal yang sama juga dipahami oleh studi Islam. Sebagai suatu kajian, studi Islam di
manapun dan apapun nama institusinya selalu memiliki karakter progresifitas. Tanpa karakter
tersebut studi Islam sudah out of date sejak dulu. Sementara tentang dimensi rasionalitas, studi
Islam memiliki paradigma pengkajian yang didasarkan atas kontruksi argumentasi dan pola
penalaran yang jelas. Dalam dimensi kemandirian, studi Islam selalu ditopang oleh agama sebagai
basis teologis dan sosialnya. Oleh karena itu, kecuali dalam konteks makna kemandirian, penulis
yakin bahwa studi Islam akan tetap eksis dalam menghadapi problematika modernitas. Alasannya
studi Islam memiliki semangat hetrodoksi yang kuat, studi Islam bukan untuk kepentingan ortodoksi
atau taqdis al-fikr dan taqdis al-nash.
Artinya, baik UIN maupun studi Islam mencerminkan karakteristik yang sama di hadapan
realitas modern. Kedua-duanya dapat digilas oleh modernitas dan keduanya bisa bermain dalam
irama modernitas. Oleh karena itu, logiknya studi Islam kehilangan peminat dan menjadi redup
bukan karena faktor UIN. Dengan menanggalkan tradisi studi Islam sebagai trade mark, eksistensi
atau keberadaan UIN juga tidak bisa dijamin. Dengan demikian, untuk ke dapan, UIN dan studi
Islam atau studi Islam dalam UIN memiliki problematika yang sama.
Problem yang paling sering kita temukan adalah munculnya pertentangan kepentingan
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Surakarta, 2-5 November 2009
antara paradigma ilmu untuk ilmu dan ilmu untuk menghasilkan pekerjaan. Bahwa pusat-pusat kajian
atau Universitas dapat menghasilkan pekerjaan adalah benar tapi kalau pusat-pusat kajian atau
Universitas untuk menghasilkan pekerjaan adalah kurang tepat. Apalagi jika dilihat bahwa unsurunsur
dalam ada atau tidak adanya suatu pekerjaan meliputi banyak aspek. Sedangkan posisi pusatpusat
kajian atau Universitas hanya satu aspek, yaitu aspek pemenuhan ketrampilan dan sumber
daya manusia. Untuk itu, menurut penulis, ketika pada era tahun 80-an dan 90-an IAIN selalu
mengibarkan paradigma penciptaan sarjana IAIN yang tidak hanya menjadi modin namun justru
menjadi seorang intelektual muslim yang memiliki wawasan luas atau terpelajar, unintended
consequence menurut Cak Nur adalah suatu paradigma yang paling tepat dan perlu dikampanyekan
lebih lanjut. Hal demikian itu perlu karena disitulah letak kreatifitas IAIN dalam membangun dialektika
antara kekauatan ilmu pengetahuan dalam institusi dangan kekuatan kepentingan pragmatismepasar
di masyarakat. Dengan pengertian lain, UIN justru tidak menemukan proses dialektika seperti
di atas karena dari awal UIN justru terjebak pada menaknisme pasar, bahkan UIN dibangun untuk
murni kepentingan pemilik modal.
Problem lain menyangkut kegagapan kita sebagai individu dan sebagai sosial atas
dinamika sosial serta sains dan teknologi. Kemajuan pola-pola perubahan besar masyarakat
kontemporer seoalah menjadi kepastian zaman yang harus diikuti, termasuk di antaranya perubahan
paradigma keilmuan. Padahal, perubahan sosial tidak lepas dari faktor manusia yang menjadi subjek
atau aktor perubahan. Individu kita seolah lepas diri kita, kepribadian kita adalah kepribdian yang
kala oleh kungkungan eksistensi yang serba global namun semu. Kita hanya berfikir bagaimana agar
kita tidak ketinggalan zaman. Kita tidak pernah berfikir bagaimana kita menciptakan suatu zaman.
Namun demikian, menciptakan kekuatan suatu eksistensi sosial-pun justru hanya menciptakan suatu
realitas yang anti-sosial. Itu terjadi karena perkembangan dan perumusan konsep sosial tidak
dilakukan oleh manusia tetapi hasil-hasil produksi manusia. Artinya, sesusungguhnya kita sedang
terjepit di antara kehampaan dan kemiskinan makna individu dan kemiskinan modal sosial yang
eksistensinya berubah bagai gurita yang selalu menghisap produsennya: manusia. Dalam konteks
studi Islam ke depan, persoalan bukan terletak pada dan karena institusi tetapi pada eksistensi
studi Islam itu sendiri berikut orang-orang yang concern di dalamnya dalam memaknai perubahan.
Begitu pula tentang sains dan teknologi, seolah-olah teknologi-lah yang menuntun masa depan kita.
D. Simpulan
Paparan di atas sepenuhnya merupakan refleksi pemikiran pribadi penulis. Oleh karena
itu gagasan-gagasan yang ada di dalamnya perlu ditelaah dan dikritisi lebih lanjut. Yang jelas pokok
gagasan tersebut adalah bahwa dalam perjalan sejarahnya, Islam selalu dikembangkan dalam proses
untuk selalu ditelaah, meskipun itu dalam koridor agama namun substansinya tetap sama bahwa
Islam adalah Islam dalam arti yang diajarkan.
Dalam konteks keindonesiaan, Islam yang diajarkan dan dikaji tercermin dari institusi
pendidikan keagamaan non formal berbasis pesantren dan institusi pendidikan keagamaan formal
yang berbasis Departemen Agama. Institusi-institusi tersebut telah dan dapat memberikan
kontribusinya masing-masing dalam proses pengembangan pemikiran keislaman. Keduanya saling
mengisi kekurangan masing-masing, meskipun harus diakui pula kadang keduanya bersebarangan
oleh karena perbedaan visi.
PTAIN sebagai reperesentasi pendidikan keagamaan formal pada tingkat universitas yang
eksistensinya selalu berdialektika dengan studi Islam telah memberi sumbangan besar bagi proses
pengayaan wacana studi Islam di Indonesia dari era awal kemerdekaan sampai sekarang. Perubahan
dari IAIN ke UIN bagaimanapun berimplikasi pada masa depan studi Islam. Namun demikian, bagi
penulis, baik studi Islam maupun UIN memiliki problematika yang sama yaitu bagaimana keduanya
mensiasati realitas era globalisasi yang menyilaukan pandangan kita tentang eksistensi dan peran
ilmu pengetahuan/teknologi, dan sosial kemasyarakatan bagi dan dalam proses perubahan zaman.

About these ads

Share this:
TwitterFacebook

Related
TARBIYAH DALAM AL QURAN (HFD)
In "Apresiasi Bahasa dan Seni"
Jabariyyah dan beberapa Pandangannya
In "Aqidah"
Islam dan llmu Pengetahuan
In "Kajian Fahmil Qur'an"
From → FIQIH KONTEMPORER
Leave a Comment
Leave a Reply


Fill in your details below or click an icon to log in:


Email (required) (Address never made public)

Name (required)

Website

 Notify me of new comments via email.

« Catatan MotivatorLOKALITAS TAFSIR BAHASA BUGIS »

Recent Posts

DAFTAR HADIS PADA BUKU INILAH HAKIKAT ISLAM
Ketika Ibu Sakit (حين الأم مريضة)
Princess Qawiyha
Art
Terowongan Paling Panjang di Dunia
Recent Comments

kajianfahmilquranhfd on PARA PENYAIR ZAMAN JAHILIAH…
ainul on PARA PENYAIR ZAMAN JAHILIAH…
Jasa Penerjemah Baha… on proposal EFEKTIFITAS METODE DR…
Britt on Kontribusi Sang Astrolog
diadara on Kajian Fahmil Quran 6 Juni 201…
Archives

May 2015
April 2015
March 2015
January 2015
May 2014
April 2014
February 2014
December 2013
November 2013
October 2013
September 2013
August 2013
July 2013
June 2013
Categories

Apresiasi Bahasa dan Seni
Aqidah
Balaghah
Cerita
cerita anak
Fiqih Ibadah
FIQIH KONTEMPORER
Kajian Dakwah
Kajian Fahmil Qur'an
Kajian Hadits
Kajian kependidikan
Kajian Nahwu- Sharf
Kajian oksidentalis
Kajian Orientalisme
kajian Ramadhan
kajian Sekularisme
Keorganisasian
Kristologi
Mantiq
MISIONARISME
Perpustakaanku
proposal penelitian
Puisi Curhatan
Science Quiz
Tafsir Tarbawi
Tarikh
Tokoh Cendekiawan dan Intelektual Muslim
tokoh Mufassir
Ulumul Quran
Uncategorized
تفسير القران
Meta

Register
Log in
Entries RSS
Comments RSS
WordPress.com
Top Posts & Pages

PERANAN ULAMA DALAM USAHA MELAWAN PENGARUH PENJAJAHAN DI INDONESIA
FASHĀHAH DAN BALĀGHAH
PERKEMBANGAN SEJARAH SASTRA ARAB (ADAB AL-ARABI)
proposal (PENGARUH MEMPELAJARI BAHASA ARAB TERHADAP PENGUASAAN HAFALAN AL-QURAN)
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM PADA MASA MODERN, YAITU DI MESIR, SUDAN DAN MAROKO
PERANAN MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH
proposal EFEKTIFITAS METODE DRILL AND PRACTICE TERHADAP PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR ILMU NAHWU
مبحث القضايا
proposal (EFEKTIVITAS MODEL COOPERATIVE INTEGRATED READING AND COMPOSITION TERHADAP PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR ILMU BADI’)
HUKUM ISLAM TENTANG MU'AMALAH
December 2013
M T W T F S S
« Nov Feb »
  1
2 3 4 5 6 7 8
9 10 11 12 13 14 15
16 17 18 19 20 21 22
23 24 25 26 27 28 29
30 31
https://kajianfahmilquranhfd.wordpress.com/2013/12/30/keilmuan-dalam-islam-sejarah-dan-masa-depan/

0 komentar: